SELASARSURABAYA – Peran jurnalis perlu diperkuat dalam penyuluhan literasi digital di tengah tantangan media sosial yang semakin kompleks. Menyelaraskan peran praktisi media dengan dinamika zaman, khususnya dalam merespons derasnya arus informasi digital.
Hal ini menjadi penting sebagai adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang sangat cepat, membedakan antara jurnalisme profesional dan konten media sosial, serta meningkatkan kredibilitas jurnalis di era digital.
Menurut Zulaika, pakar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo (Fikom Unitomo) Surabaya, jurnalis harus mentransformasi perannya. Buka hanya sebagai produsen berita, tetapi juga sebagai edukator yang aktif berinteraksi dengan masyarakat.
“Wartawan yang nantinya akan turun langsung ke masyarakat untuk menjelaskan literasi digital,” ungkap Zulaika dalam diskusi Jagongan Bareng Literasi Digital di Rumah Literasi Digital (RLD), Jl. Kaca Piring, Surabaya, Selasa (26/8/2025) sore.
Ia mengkritik pola lama dimana jurnalis cenderung bersifat satu arah. Menurutnya, ke depan, jurnalis perlu menjadi komunikator yang membangun dialog dan mampu menjelaskan isu-isu digital secara langsung dan interaktif.
“Kalau masyarakat nggak paham, bisa langsung bertanya. Ini menjadikan komunikasi dua arah, bukan hanya menyampaikan informasi satu arah seperti selama ini,” tambahnya.
Zulaika juga menyoroti cepatnya perubahan di dunia digital, yang menuntut jurnalis untuk terus belajar dan beradaptasi. Ia menyayangkan banyaknya konten viral yang hanya memuat satu paragraf tanpa kedalaman informasi, yang berisiko disalahpahami publik.
“Wartawan dituntut bisa menyampaikan informasi penting dengan ringkas, tetapi tetap akurat dan utuh, meski hanya dalam satu paragraf,” tegasnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya membedakan konten media sosial yang bersifat pribadi dengan karya jurnalistik yang berbasis etika dan kelembagaan. Banyak pengguna media sosial kini tampil seolah-olah sebagai pakar demi kepentingan monetisasi pribadi.
“Sementara wartawan bekerja untuk lembaga, bukan untuk diri sendiri. Ini yang perlu dijaga agar kredibilitas informasi tidak tercampur dengan kepentingan pribadi,” ujarnya.
Generasi Z dan Tantangan Literasi
Sementara itu, Harliantara, Dekan Fikom Unitomo, menegaskan bahwa literasi digital harus menyasar Generasi Z sebagai prioritas utama. Menurutnya, generasi ini tumbuh sebagai pengguna digital aktif, namun masih rentan terhadap misinformasi dan hoaks.
“Generasi Z secara alami adalah generasi digital. Mereka punya potensi besar, tetapi juga menghadapi tantangan serius, seperti mudah terpapar hoaks,” jelas Harliantara.
Ia menambahkan bahwa kemampuan generasi muda dalam membedakan informasi benar dan salah bergantung pada tiga hal: pengetahuan, niat untuk memverifikasi, dan daya pikir kritis.
“Literasi digital bukan hanya kemampuan teknis, tapi juga mencakup aspek analisis, pemahaman, dan kesadaran etis dalam mengelola informasi,” ujarnya.
Harliantara menyadari bahwa hoaks tidak akan pernah benar-benar hilang. Namun, menurutnya, penyebaran informasi positif yang masif bisa menjadi penyeimbang yang efektif.
“Hoaks itu tidak bisa dihapuskan. Tapi masyarakat harus dibekali informasi positif sebagai pembanding yang kredibel,” tegasnya.
Ia juga menyinggung pentingnya kontinuitas program literasi digital. Salah satu yang sempat berjalan, yaitu Gerakan Nasional Literasi Digital, mengalami hambatan karena keterbatasan anggaran.
“Peran pemerintah tetap penting untuk mencerdaskan masyarakat. Program yang sudah ada harus dilanjutkan, apalagi Generasi Z adalah penghuni utama ruang digital masa depan,” pungkasnya.(djo)