Minggu, November 9, 2025
BerandaHeadlinesMengapa Hoaks Tentang Aspartam Selalu Muncul?

Mengapa Hoaks Tentang Aspartam Selalu Muncul?

SELASARSURABAYA – Berita terkait hoaks lama soal bahaya aspartam kembali menjadi berita di grup WhatsApp dan media sosial. Kali ini, pesan berantai yang mencatut nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebar informasi palsu tentang sejumlah produk minuman sehat yang disebut-sebut bisa menyebabkan pengerasan otak dan kerusakan sumsum tulang belakang. Isinya terdengar mencemaskan, lengkap dengan nama merek terkenal dan narasumber dari kalangan medis.

Padahal, informasi tersebut tidak berdasar dan sudah berkali-kali dibantah secara resmi. IDI menegaskan tidak pernah mengeluarkan rilis atau pernyataan mengenai daftar minuman penyebab kanker. Nama dokter yang dicantumkan pun tidak terdaftar sebagai anggota IDI. Setiap pernyataan resmi dari IDI hanya disampaikan melalui kanal resmi dengan kop surat dan tanda tangan Ketua Umum, yang dapat diverifikasi publik.

Meski begitu, hoaks seperti ini terus berulang dan menimbulkan efek domino seperti munculnya kepanikan, disinformasi, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap edukasi kesehatan yang valid.

Aspartam adalah pemanis buatan rendah kalori yang sudah digunakan secara global selama lebih dari 40 tahun. Rasa manis aspartam sekitar 200 kali lebih kuat dari gula, sehingga menggunakannya dalam jumlah kecil saja sudah cukup.

Banyak produk seperti minuman ringan, minuman energi, suplemen, hingga obat-obatan menggunakan aspartam karena bisa memberikan rasa manis tanpa menambahkan terlalu banyak kalori. Ini sangat membantu bagi orang yang ingin mengurangi konsumsi gula—baik karena alasan kesehatan, diet, atau kebutuhan medis seperti diabetes.

Dokter Gia Pratama, kreator konten kesehatan, menyampaikan bahwa aspartam merupakan pemanis buatan yang sudah lama digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman rendah kalori.

“Penggunaan aspartam cukup umum, terutama di kalangan individu yang sedang menjalani program penurunan berat badan. Zat ini bisa menjadi bagian dari strategi transisi dalam usaha mengurangi asupan gula, tanpa menghilangkan sepenuhnya rasa manis dari makanan atau minuman,” papar Gia, dalam keterangan tertulis, seperti dikutip Minggu (13/7).

Aspartam termasuk salah satu bahan tambahan makanan yang paling banyak diteliti baik oleh badan nasional maupun internasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) sudah menanggapi pesan hoaks yang kerap disebar kembali di situs webnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) semuanya menyatakan bahwa aspartam aman dikonsumsi, selama masih dalam batas konsumsi harian yang dianjurkan.

“Saya ingin menekankan pentingnya edukasi publik terkait konsumsi pemanis buatan. Penggunaan aspartam tetap perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan tentunya sebaiknya dikonsumsi dalam batas wajar,” tambah Gia.

Penyebaran informasi palsu soal makanan dan minuman bukan hanya bisa menimbulkan kepanikan, tapi juga membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada produk yang sebenarnya aman dan teruji. Bahkan bisa membuat orang justru menghindari pilihan yang lebih sehat hanya karena takut yang tidak berdasar. Sayangnya, efek dari hoaks seperti ini sangat nyata, masyarakat jadi takut mengonsumsi produk yang sebenarnya aman, bahkan cenderung lebih sehat.

Terlebih lagi, saat ini pelaku penyebar hoaks bisa dijerat hukum. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 1 menyebutkan, bagi yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dapat dihukum penjara sampai 6 tahun atau denda sampai 1 milyar rupiah. Ini artinya, siapapun yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu demi klik, sensasi, atau keuntungan pribadi—sadarlah. Ini bukan cuma soal salah kirim. Ini soal ikut merusak kredibilitas edukasi publik dan menebar keresahan massal yang tidak perlu. Jangan bermain-main dengan informasi kesehatan. Masyarakat berhak tahu apa yang mereka konsumsi, dan hak itu hanya bisa terpenuhi jika informasi yang beredar berbasis fakta, bukan rekayasa.

“Sebagai konsumen, kita punya hak untuk tahu apa yang kita konsumsi, dan itu harus didasarkan pada ilmu, bukan rumor. Kalau ragu, jangan cari jawaban di grup chat, cari ke sumber yang bisa dipercaya seperti BPOM, WHO, atau tenaga medis profesional,” tuturnya.

Menjaga kesehatan itu penting, sama pentingnya memilah mana informasi yang layak dipercaya, dan mana yang hanya menakut-nakuti tanpa dasar.

“Menjadi sehat tidak cukup dengan menjauhi gula, karbohidrat, atau bahan kimia, tapi juga dengan menjauhi informasi yang menyesatkan. Di tengah derasnya arus hoaks, sikap kritis adalah bagian dari gaya hidup sehat,” pungkasnya. (nan)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments